Halaman

Khamis, 17 Februari 2011

S-H-M-I-L-Y

My grandparents were married for over half a century, and played their own special game from the time they had met each other. The goal of their game was to write the word "shmily" in a surprise place for the other to find. They took turns leaving "shmily" around the house, and as soon as one of them discovered it, it was their turn to hide it once more.

They dragged "shmily" with their fingers through the sugar and flour containers to await whoever waspreparing the next meal. They smeared it in the dew on the windows overlooking the patio where my grandma always fed us warm, homemade pudding with blue food coloring. "Shmily" was written in the steam left on the mirror after a hot shower, where it would reappear bath after bath. At one point, my grandmother even unrolled an entire roll of toilet paper to leave "shmily" on the very last sheet.

There was no end to the places "shmily" would pop up. Little notes with "shmily" scribbled hurriedly were found on dashboards and car seats, or taped to steering wheels. The notes were stuffed inside shoes and left under pillows.

"Shmily" was written in the dust upon the mantel and traced in the ashes of the fireplace. This mysterious word was as much a part of my grandparents' house as the furniture. It took me a long time before I was able to fully appreciate my grandparents' game. Skepticism has kept me from believing in true love-one that is pure and enduring. However, I never doubted my grandparents' relationship. They had love down pat.

It was more than their flirtatious little games; it was a way of life. Their relationship was based on a devotion and passionate affection which not everyone is lucky enough to experience.

Grandma and Grandpa held hands every chance they could. They stole kisses as they bumped into each other in their tiny kitchen. They finished each other's sentences and shared the daily crossword puzzle and word jumble. My grandma whispered to me about how cute my grandpa was, how handsome and old he had grown to be. She claimed that she really knew "how to pick 'em." Before every meal they bowed their heads and gave thanks, marveling at their blessings: a wonderful family, good fortune, and each other.

But there was a dark cloud in my grandparents' life: my grandmother had breast cancer. The disease had first appeared ten years earlier. As always, Grandpa was with her every step of the way. He comforted her in their yellow room, painted that way so that she could always be surrounded by sunshine, even when she was too sick to go outside. Now the cancer was again attacking her body. With the help of a cane and my grandfather's steady hand, they went to church every morning. But my grandmother grew steadily weaker until, finally, she could not leave the house anymore. For a while, Grandpa would go to church alone, praying to God to watch over his wife. Then one day, what we all dreaded finally happened. Grandma was gone. "Shmily." was scrawled in yellow on the pink ribbons of my grandmother's funeral bouquet.

As the crowd thinned and the last mourners turned to leave, my aunts, uncles, cousins and other family members came forward and gathered around Grandma one last time. Grandpa stepped up to my grandmother's casket and, taking a shaky breath, he began to sing to her. Through his tears and grief, the song came, a deep and throaty lullaby. Shaking with my own sorrow, I will never forget that moment. For I knew that, although I couldn't begin to fathom the depth of their love, I had been privileged to witness its unmatched beauty.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan

PENGORBANAN ITU INDAH

Musim hujan sudah berlangsung selama dua bulan sehingga di mana-mana pepohonan tampak menjadi hijau. Seekor ulat menyeruak di antara daun-daun hijau yang bergoyang-goyang diterpa angin.

"Apa kabar daun hijau!!!" katanya. Tersentak daun hijau menoleh ke arah suara yang datang.

"Oo, kamu ulat. Badanmu kelihatan kecil dan kurus, mengapa?" tanya daun hijau.

"Aku hampir tidak mendapatkan dedaunan untuk makananku. Bisakah engkau membantuku sobat?" kata ulat kecil.

"Tentu ... tentu ... mendekatlah ke mari."

Daun hijau berpikir, jika aku memberikan sedikit dari tubuhku ini untuk makanan si ulat, aku akan tetap hijau, hanya saja aku akan kelihatan belobang-lobang, tapi tak apalah

Perlahan-lahan ulat menggerakkan tubuhnya menuju daun hijau. Setelah makan dengan kenyang, ulat berterima kasih kepada daun hijau yang telah merelakan bagian tubuhnya menjadi makanan si ulat. Ketika ulat mengucapkan terima kasih kepada sahabat yang penuh kasih dan pengorbanan itu, ada rasa puas di dalam diri daun hijau. Sekalipun tubuhnya kini berlobang di sana sini, namun ia bahagia bisa melakukan bagi ulat kecil yang lapar.

Tidak lama berselang ketika musim panas datang, daun hijau menjadi kering dan berubah warna. Akhirnya ia jatuh ke tanah, disapu orang dan dibakar.

Apa yang terlalu berarti di dalam hidup kita sehingga kita enggan berkorban sedikit saja bagi sesama? Toh akhirnya semua yang ada akan binasa. Daun hijau yang baik mewakili orang-orang yang masih mempunyai "hati" bagi sesamanya.

Yang tidak menutup mata ketika melihat sesamanya dalam kesulitan. Yang tidak membelakangi dan seolah-olah tidak mendengar ketika sesamanya berteriak minta tolong.
Ia rela melakukan sesuatu untuk kepentingan orang lain dan sejenak mengabaikan kepentingan diri sendiri. Merelakan kesenangan dan kepentingan diri sendiri bagi sesama memang tidak mudah, tetapi indah..

Ketika berkorban, diri kita sendiri menjadi seperti daun yang berlobang, namun itu sebenarnya tidak mempengaruhi hidup kita. Kita akan tetap hijau, Allah akan tetap memberkati dan memelihara kita.

Bagi "daun hijau", berkorban merupakan satu hal yang mengesankan dan terasa indah serta memuaskan. Dia bahagia melihat sesamanya bisa tersenyum karena pengorbanan yang ia lakukan. Ia juga melakukannya karena menyadari bahwa ia tidak akan selamanya tinggal sebagai daun hijau. Suatu hari ia akan kering dan jatuh.

Demikianlah hidup kita, hidup ini hanya sementara kemudian kita akan mati. Itu sebabnya isilah hidup ini dengan perbuatan-perbuatan baik: kasih, pengorbanan, pengertian, kesetiaan, kesabaran dan kerendahan hati.

Jadikanlah berkorban itu sebagai sesuatu yang menyenangkan dan membawa sukacita tersendiri bagi anda. Dalam banyak hal kita bisa berkorban.

Mendahulukan kepentingan sesama, melakukan sesuatu bagi mereka, memberikan apa yang kita punyai dan masih banyak lagi pengorbanan yang bisa dilakukan. Jangan lupa bahwa kita pernah menerima pengorbanan yang tiada taranya dari Yesus hingga kita bisa diselamatkan seperti sekarang ini.